PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM DALAM PEMBAGIAN HARTA BERSAMA
Oleh : Dra. Hj. Muhayah, S.H.,M.H
A. Pendahuluan
Salah satu kewenangan Pengadilan Agama adalah memeriksa mengadili dan memutus perkara harta bersama pasangan suami istri beragama Islam yang telah bercerai atau dalam proses perceraian (pasal 49 UU nomor 3 tahun 2006).
Dalam banyak literatur hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku menyebutkan bahwa ketika terjadi suatu perceraian, maka harta bersama (gono gini) sebagai harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung dibagi sama rata, yaitu 1/2 (seperdua) untuk mantan suami, dan 1/2 (seperdua) untuk mantan isteri.
Namun apakah pembagian demikian telah bersifat final dan mutlak diikuti oleh hakim dalam memutus perkara? Dan apakah pembagian yang demikian juga telah memenuhi rasa keadilan yang merupakan tujuan hukum yang paling utama?
Sebuah ilustrasi kisah nyata yang penulis kutip dari buku yang disusun oleh Happy Susanto yang mengutip dari Majalah Anggun nomor 22 Vol 2 Maret 2007, menceritakan sebuah kisah nyata tentang seorang perempuan yang mendapatkan ketidakadilan dalam hal urusan pembagian harta gono gini. Sarmila perempuan asal pasuruan merasa stres berat setelah diceraikan suaminya. Ceritanya Sarmila telah dimadu oleh Arwana (bukan nama sebenarnya) yang tenyata menikah lagi dengan perempuan lain ketika merantau ke daerah lain. Selama masa perantauan tanggung jawab mengurus rumah tangga beserta pembiayaannya sebagian besar dihandle oleh Sarmila sendiri dengan berjualan ikan. Meskipun telah bekerja keras Arwana tetap tidak memperhatikan Sarmila yang diperhatikan Arwana hanya istri keduanya. Kelakuan Arwana tersebut menyulut konflik rumah tangga yang tidak bisa diselesaikan lagi dan memaksa mereka berdua harus bercerai, yang sangat menyedihkan setelah bercerai Arwana dan istri keduanya menetap di rumah yang sesungguhnya lebih banyak hasil jerih payah Sarmila, Sarmila tidak bisa berbuat apa apa. ia berserta ketiga anaknya terpaksa menumpang di rumah ibunya. (Happy Susanto, 2008: 5-6).
Sayangnya penggalan kisah dalam buku tersebut tidak diketahui apakah Sarmila mengajukan gugatan harta bersama terhadap rumah yang didiaminya yang kemudian harus dia tinggalkan, Contoh kasus di atas tentu lebih menarik apabila Sarmila mengajukan gugatan harta bersama ke pengadilan dan bagaimana hakim memutus perkaranya apakah dibagi dua sesuai dengan aturan yang ada atau hakim memiliki pertimbangan lain.
B. Pembahasan
B.1. Pengertian harta bersama (gono gini)
Harta bersama atau lebih familiar dalam masyarakat dengan menyebut harta gono gini. Namun sebenarnya istilah hukum yang digunakan secara resmi dan legal formal dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, baik dalam UU No. 1 tahun 1974, tentang perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) maupun Kompilasi Hukum Islam adalah istilah harta bersama, sedangkan konsep dan istilah gono gini sebenarnya diambil dari tradisi Jawa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:330) mendefinisikan dengan kata “gana gini” dalam tradisi Jawa “sebagai anak yang hanya dua bersaudara, laki laki dan perempuan sekandung”, istilah “gana gini” kemudian dikembangkan sebagai konsep persatuan antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan perkawinan dan kemudian disebut dengan “harta gono gini”.
Dari beberapa literatur misalnya dalam kamus umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh JS Badudu dan SM Zain (1996:421) menyebutkan pengertian harta bersama sebagai harta perolehan bersama selama bersuami istri atau harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar warisan atau hadiah, maksudnya adalah harta yang diperoleh atas usaha mereka atau sendiri sendiri selama masa ikatan Perkawinan. Harta yang ada baik dari suami dan istri sebelum pernikahan akan tetap menjadi harta mereka masing- masing.
Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa harta bersama suami isteri hanyalah meliputi harta – harta yang diperoleh selama tenggang waktu, antara saat peresmian perkawinan sampai perkawinan tersebut putus, baik karena cerai mati maupun cerai hidup. Dengan demikian harta yang dipunyai pada saat dibawa masuk kedalam perkawinan terletak di luar harta bersama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa harta bersama suami isteri bersumber dari : 1) Harta yang dibeli selama perkawinan; 2) Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama; 3) Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan, kecuali berupa harta pribadi suami atau isteri; 4) Penghasilan yang diperoleh dari harta bersama dan harta bawaan / pribadi suami isteri; 5) Segala penghasilan suami; 6) Segala penghasilan isteri dan/atau; 7) Segala penghasilan harta bersama suami isteri, kecuali dibuktikan sebaliknya. Kemudian 8) sebagaimana yang tercakup dalam Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan, ”harta kekayaan dalam perkawinan (harta bersama) yaitu harta yang diperoleh baik sendiri sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.”
B.2. Aturan hukum Pembagian harta bersama
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 37 menyatakan “bila perkawinan putus kerena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing,” yang dimaksud dengan hukum masing-masing ditegaskan dalam penjelasan Pasal 37 ialah “hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya,”. Dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak menegaskan berapa bagian masing-masing antara suami atau istri, baik cerai mati maupun cerai hidup, tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 96 dan 97 mengatur tentang pembagian syirkah ini baik cerai hidup maupun cerai mati, yaitu masing-masing mendapat separo dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan dalam perjanjian kawin. Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam berbunyi : 1) Apabila terjadi cerai mati maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. 2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam menyatakan, “Janda atau duda yang cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin”. Berdasarkan kedua pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa harta bersama atau syirkah akan dibagi sama banyak atau seperdua bagian antara suami dan istri, hal ini dapat dilakukan langsung atau dengan bantuan pengadilan.
B.3 Putusan Mahkamah Konstitusi Kaitan dengan Harta Bersama
Permasalahan harta bersama juga telah menjadi kajian Mahkamah Konstitusi, sepanjang pengamatan penulis ada dua putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang telah diputus berkaitan dengan perkara harta bersama. Pertama putusan nomor 64/PUU-X/2012 dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon sebagian dan yang menjadi norma baru kaitan dengan rahasia bank, yaitu istri/mantan istri atau suami/mantan suami dapat diberi akses untuk melihat transaksi perbankan pasangan atau mantan pasangannya di bank, adapun penggalan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah sebagai berikut:
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, perlu ada penafsiran yang pasti terkait ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU 30 Perbankan, agar terdapat kepastian hukum yang adil dalam pelaksanaan dari pasal a quo, sehingga setiap isteri dan/atau suami termasuk Pemohon memperoleh jaminan dan kepastian hukum atas informasi mengenai harta bersama dalam perkawinan yang disimpan di bank. Terhadap Pasal 40 ayat (1)
UU Perbankan perlu diberi penafsiran agar data nasabah pada bank tetap terlindungi kerahasiannya, kecuali mengenai hal-hal lain yang telah ditentukan oleh Undang-Undang dan berdasarkan penafsiran oleh Mahkamah ini. Menurut Mahkamah, apabila Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara keseluruhan dan karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, hal itu justru akan menimbulkan tidak adanya perlindungan terhadap kerahasiaan bank, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan nasabah terhadap bank dan merugikan perekonomian nasional. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, untuk melindungi hak-hak suami dan/atau isteri terhadap harta bersama yang disimpan di bank, maka Mahkamah perlu memberikan kepastian dan perlindungan hukum yang adil. Ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan harus dimaknai “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A serta untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian.” Dengan demikian dalil Pemohon a quo, menurut Mahkamah adalah beralasan menurut hukum;
Kedua putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-VIII/2015 yang mana dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon sebagian dan yang menjadi norma baru adalah bahwa berdasarkan Putusan MK tersebut terhadap Pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, Mahkamah menerapkan interpretasi ekstensif sehingga mengakibatkan rumusan norma dalam Pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) terhadap pelaksanaan perjanjian perkawinan kini tidak terbatas hanya dapat dilaksanakan pada waktu atau sebelum perkawinan tersebut dilangsungkan, melainkan juga selama dalam ikatan perkawinanpun perjanjian perkawinan dapat dibuat dan dilaksanakan oleh suami-istri atas persetujuan bersama. Perjanjian Perkawinan setelah perkawinan dilaksanakan sebelumnya tidak dikenal atau diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun pasca Putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) yang menurut Mahkamah haruslah dimaknai juga dapat dilakukan pada saat telah berlangsungnya ikatan perkawinan apabila ada persetujuan bersama antara suami dan istri:
B.4. Praktik pembagian harta bersama di Pengadilan Agama
Dalam pengamatan penulis kaitan dengan putusan hakim terhadap gugatan bersama, mayoritas putusan hakim membagi harta bersama sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang mengatur pembagian harta bersama yaitu memberi setengah bagian untuk mantan suami dan setengah bagian untuk mantan istri. Namun demikian ada juga beberapa putusan pengadilan yang memutus tidak sebagaimana aturan undang-undang tentang pembagian harta bersama.
Ada beberapa putusan pengadilan yang memberi bagian yang tidak sama besarnya dalam perkara harta bersama, adapun beberapa putusan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Putusan MA Membatalkan Putusan PTA Yogyakarta
Pada awal Putusan Pengadilan Agama Bantul dengan Putusan No. 229/Pdt.G/2009/PA Btl tidak membagi sama rata harta bersama (gono-gini). Akan tetapi membagi harta bersama 3/4 (tiga perempat) bagi Penggugat dan 1/4 (seperempat) bagi Tergugat.
Pada putusan Tingkat Banding, Putusan Pengadilan Agama Bantul dibatalkan oleh Pengadilan Agama Tinggi Agama Yogyakarta melalui Putusannya No.34/Pdt.G/2009/PTA Ygk. yang memutuskan harta bersama (goni-gini) wajib dibagi menjadi sama rata.
Akhirnya pada tingkat Kasasi, Mahkamah Agung melalui Putusannya No. 226 K/AG/2010 membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta dan kembali menguatkan putusan Pengadilan Agama Bantul yang tidak membagi sama rata harta bersama (gono gini) tersebut.
Salah satu alasan pertimbangan mengapa harta bersama (gono gini) tersebut tidak dibagi sama rata dikarenakan adanya tindakan KDRT yang berdampak pada kekerasan fisik dan psikis bagi Termohon Kasasi/Penggugat/Pembanding.
2. Putusan MA nomor 266K/AG/2010
Putusan MA nomor 266K/AG/2010 yang memberikan 1/5 (seperlima) bagi duda/mantan suami dan 4/5 (empat perlima) bagi janda/mantan isteri, dengan pertimbangan mantan suami tidak memiliki pekerjaan tetap dan memiliki moral yang kurang baik karena suka minum minuman keras (mabok), sehingga penghasilan harta perkawinan di dominasi dari penghasilan isteri.
B.5. Analisis Terhadap Pertimbangan Hakim yang Memutus Pembagian Harta Bersama Yang Tidak Sama Besarnya.
Dari dua putusan Mahkamah Agung yang memutus perkara harta bersama di atas, kedua putusan membagi harta bersama dengan pembagian yang tidak sama besarnya, bahkan putusan nomor 266K/AG/2010 pembagiannya sangat mencolok yaitu 1/5 (seperlima) bagi duda/mantan suami dan 4/5 (empat perlima) bagi janda/mantan isteri.
Memang secara normatif ketentuan tentang pembagian harta bersama terdapat dalam ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, dimana dijelaskan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, yang bagi orang Islam berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam dimana janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama.
Namun menurut penulis bahwa dibalik ketentuan normatif tersebut di atas, ada filsafat hukum yang melatari dan menjadi inti dari adanya teks normatif tersebut yaitu keadilan dan keadilan tersebut harus dijadikan sebagai pijakan utama dalam penetapan hukum.
Jika ketentuan normatif bertentangan dengan keadilan maka yang harus diutamakan untuk dipilih adalah penegakan keadilan. Bila dinilai sudah tidak adil seorang hakim harus berani melakukan contra legem yaitu putusan pengadilan yang mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga hakim tidak mengunakan sebagai dasar pertimbangan atau bahkan bertentangan dengan pasal undang-undang sepanjang pasal undang-undang tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan rasa keadilan.
Bahkan jika keadilan bertentangan dengan tujuan hukum lainnya yaitu kepastian dan kemanfaatan, maka menurut penulis yang harus diutamakan untuk dipilih adalah penegakan keadilan, pertimbangan yang demikian sesuai pula dengan firman Allah SWT., dalam Al-Qur’an surat An-Nisa Ayat 58 yang berbunyi :
Artinya : “…
Kaitan dengan tujuan hukum yang utama yakni keadilan, penulis juga perlu mengemukakan pendapat filsafat Yunani Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Rhetorika dan Ethica Nicomachea, yang mengemukakan teori etis, teori ini berpendapat bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Keadilan di sini adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya. Dari pernyataan tersebut kita dapat cermati bahwa bagian atau hak setiap orang tidak selalu sama. Jadi dengan demikian kita menjadi tahu bahwa keadilan itu jangan dipandang sebagai penyamarataan sebab apabila terjadi penyamarataan justru akan terjadi ketidakadilan (Dudu Duswara Machmudin, 2003: 23-24).
Lebih lanjut menurut Dudu Duswara, Aristoteles membagi dua macam keadilan yaitu keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan distributive artinya Keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, sedangkan keadilan komutatif ialah keadilan yang yang memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa perseorangan. (Dudu Duswara Machmudin, 2003: 23-24).
Kalau melihat Putusan MA nomor 266K/AG/2010, dasar pertimbangan hukumnya sejalan dengan keadilan distributif yang dikemukakan Aristoteles yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya, dan hal ini juga telah disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 32 yang berbunyi sebagai berikut:
للرجال نصیب مما اكتسبوا وللنساء نصیب ممااكتسبن
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan,
dan bagi para wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan”;
Pembagian harta gono gini perlu didasarkan pada aspek keadilan untuk semua pihak yang terkait. Keadilan yang dimaksud mengcakup pada pengertian bahwa pembagian tersebut tidak mendiskriminasikan salah satu pihak, kepentingan masing-masing pihak perlu diakomodasikan asalkan sesuai kenyataan yang sesungguhnya. (Happy Susanto, 2008: 42) dan pada kondisi ini hakim dituntut untuk menggali fakta tentang asal usul perolehan harta dan peran masing-masing dalam pengumpulan harta tersebut.
Terkait dengan pertimbangan apa saja yang menjadi dasar pengadilan dalam membagi harta bersama Happy Susanto dalam bukunya menggambarkan bahwa Pihak pengadilan dapat memutuskan persentasi lain (tidak semata-mata dibagi dua) dengan pertimbangan pertimbangan tertentu misalnya atas dasar pertimbangan siapa yang mengurus dan membiayai anak, siapa yang berkonstribusi terhadap harta gono gini lebih besar dan ternyata siapa yang mampu membiayai hidup sendiri (Happy Susanto, 2008: 42-43).
Bagaimana dengan istri yang tidak bekerja (secara formal) Happy Susanto lebih lanjut menguraikan bahwa dalam banyak kasus istri yang tidak bekerja kerap mendapat perlakuan yang tidak adil dalam hal pembagian harta gono gini setelah adanya perceraian secara resmi, sudah seharusnya istri yang tidak bekerja tetap mendapat bagian dari harta gono gininya bersama dengan suami. Alasanya apa yang dikerjakan istri selama hidup bersama dengan suaminya adalah termasuk kegiatan bekerja juga, hanya memang pekerjaan istri lebih banyak berupa pekerjaan secara domestic seperti mengasuh anak, memasak dan mengurus kebersihan rumah tangga jadi istri yang tidak bekerja tetap mendapat bagian dari harta gono gini.
Sementara suami yang tidak bekerja secara formil berdasakan ketentuan yang berlaku harta gono gini termasuk penghasilan istri tetap dibagi dua seperti halnya dengan kondisi seperti istri yang tidak bekerja secara formal, maka suami yang tidak bekerja juga mendapatkan halnya dalam pembagian harta gono gini. Hal ini didasarkan pada logika bahwa jika salah satu pihak tidak menghasilkan, pihak yang lain tidak bisa menghasilkan tanpa bantuan yang satunya artinya meskipun salah satu dari mereka tidak bekerja secara formal, ada pekerjaan-pekerjaan lain yang itu dianggap dapat membantu urusan rumah tangga. (Happy Susanto, 2008: 42-43)
Suami yang tidak bekerja secara formal juga perlu dilihat juga bagaimana kondisinya apakah ia menganggur total, mempunyai pekerjaan serabutan atau jika menggangur total tetapi mengerjakan pekerjaan pekerjaan domestic? Jika ternyata suami tersebut menggangur total tapi tidak mau mengerjakan pekerjaan domestic dan harta gono gini dibagi dua akan menjadi suatu pertanyaan besar apakah pembagian seperti itu dikatakan adil? Untuk itulah pembagian harta gono gini juga perlu memerhatikan siapa yang berkontribusi paling besar dalam kebersamaan harta kekayaan suami istri (Happy Susanto, 2008: 44).
Dari dua putusan yang telah diuraikan di muka telah memberi gambaran bahwa alasan pertimbangan mengapa harta bersama (gono gini) tersebut tidak dibagi sama rata dikarenakan adanya tindakan KDRT yang berdampak pada kekerasan fisik dan psikis bagi Termohon Kasasi/Penggugat/Pembanding dan mantan suami tidak memiliki pekerjaan tetap dan memiliki moral yang kurang baik karena suka minum minuman keras (mabok), sehingga penghasilan harta perkawinan di dominasi dari penghasilan isteri.
Berdasarkan uraian di muka, menurut penulis dalam kasus harta bersama pembagiannya bisa mengikuti pembagian sesuai dengan pembagian yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu dibagi sama rata, bisa juga pembagiannya berbeda dengan ketentuan yang diatur oleh undang-undang, tergantung kepada penilaian dan pertimbangan hakim setelah hakim menggali fakta-fakta yang ada dalam hubungan rumah tangga keduannya, khususnya yang terkait sumber dan pengumpulan harta bersama, sehingga terkait dengan porsi pembagian harta bersama sifatnya menjadi sangat kasuistis.
C. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah bahwa dalam kasus harta bersama pembagiannya tidak selamanya harta bersama (gono-goni) wajib dibagi sama rata 1/2 (seperdua) untuk mantan isteri dan 1/2 (seperdua) untuk mantan suami. Namun dengan alasan-alasan tertentu, majelis hakim dapat memutuskan harta bersama tidak wajib dibagi sama rata, tergantung kepada penilaian dan pertimbangan hakim setelah hakim menggali fakta-fakta yang ada dalam hubungan rumah tangga keduannya.
Dalam mengambil keputusan bila hakim dihadapkan pada suatu pilihan yaitu ketentuan normatif yang bertentangan dengan keadilan, maka yang harus diutamakan untuk dipilih adalah penegakan keadilan. Bila dinilai sudah tidak adil seorang hakim harus berani melakukan contra legem yaitu putusan pengadilan yang mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga hakim tidak menggunakan sebagai dasar pertimbangan atau bahkan bertentangan dengan pasal undang-undang sepanjang pasal undang-undang tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan rasa keadilan. Bahkan jika keadilan bertentangan dengan tujuan hukum lainnya yaitu kepastian dan kemanfaatan, maka penegakan keadilan adalah pilihan utama.
D. Daftar Pustaka
Badudu, JS Dan SM Zain, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Pustaka Sinar harapan , 1996.
Machmudin, Dudu Duswara, Pengantar Ilmu HukumBandung PT Refika Aditama, Cet ke2, 2003
Susanto, Happy, Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian, Jakarta: Visimedia, 2008
Tim Penyusun Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional , Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka Sinar harapan, 2001.